TEORI-TEORI YANG TERDAPAT DALAM ALIRAN KLASIK, POSITIVISME, DAN KRITIS
Didalam sejarah intelektual terhadap masalah “penjelasan” ini secara umum
dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik
atau demonologik dan pendekatan naturalistic, yang kedua-duanya merupakan
pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.Penjelasan demonologik
mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh). Unsur utama dalam
penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric; dia tidak
terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam
cara-cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang
bersifat terbatas.[1]
Pada pendekatan naturalistik penjelasan diberikan secara terperinci dengan
melihat dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Secara
garis besar pendekatan ini dibagi tiga bentuk sistem pemikiran atau bisa
disebut sebagai paradigma yang digunakan sebagai kerangka untuk menjelaskan
fenomena kejahatan, adapun ketiga paradigma/ aliran ini adalah aliran klasik, positivisme
dan aliran kritis.[2]
A. Classical Schools[3]
Dipelopori oleh Cesare Beccaria dan Jeremy
Bentham yang berkembang sekitar abad 18. Secara sederhana inti ajaran
klasik menyatakan bahwa manusia melakukan kejahatan karena kemauan dan
kepentingannya sendiri. Kejahatan merupakan konsekuensi logis dari sifat alami
manusia yang memiliki kehendak bebas.
·
Ada beberapa pemikiran dalam aliran klasik
1.
Individu dilahirkan
karena kehendak bebas untuk menentukan pilihannya sendiri
2.
Individu memiliki
hak untuk hidup, kebebasan dan memiliki kekayaan dan pemerintah
dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil
perjanjian sosial.
3.
Kejahatan merupakan
pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap perlanggaran sosial
4.
Hukuman adalah cara
untuk memelihara perjanjian sosial.
5.
Setiap orang
dianggap sama dimuka hukum.
·
Teori Dalam Aliran Klasik
1.
Neo-Klasik
Teori Neo-Klasik mempunyai ciri khas yang masih sama
dengan aliran klasik tetapi ada beberapa hal yang diperbaharui antara lain
adalah kondisi si pelaku dan lingkungan mulai diperhatikan. Hal ini dipicu oleh
pelaksanaan Code De Penal secara kaku dimana tidak memperhitungkan usia,
kondisi mental si pelaku, aspek kesalahan. Semua faktor tersebut tidak menjadi
pertimbangan peringanan hukuman, penjatuhan hukuman dipukul rata berdasarkan
prinsip kesamaan hukum dan kebebasan pribadi.
B.
POSITIVE SCHOOLS
Aliran Positif menolak pendapat aliran klasik yang
menyatakan, kejahatan adalah pilihan manusia dan konsekuensi logis dari sifat
dasar manusia. Aliran positivis ini menyelidiki kejahatan dari faktor individu
pelaku kejahatan yaitu kajahatan yang terjadi itu karena faktor individunya
misalnya seorang individu itu mendapat tekanan untuk melakukan kejahatan atau
seorang individu tersebut mengalami gangguan jiwa.
·
Aliran Positif memiliki pandangan yang berbeda-beda
tentang penyebab kejahatan. Aliran Positif diklasifikasikan menjadi 3 teori :
1.
Biologi Positivis
Pendiri
aliran ini adalah Cesare Lombrosso. Inti dari biologi positivis adalah, bahwa
pelaku kejahatan memiliki perbedaan karakterisitik secara fisik dibandingkan
manusia yang lain.
2.
Psikologi Positivis
Berbeda
dengan biologi positivis, psikologi positivis menekankan, bahwa kejahatan
terjadi karena perbedaan tingkat psikologis manusia.Tokoh Aliran ini adalah
Sigmund Freud.
3.
Sosiologi Positivis
Menurut
aliran ini kejahatn terjadi karena faktor lingkungannya, yaitu keadaan
masyarakat disekitarnya yang mempengaruhi terjadinya kejahatan, seorang itu
menjadi jahat atau tidak tergantung pada lingkungannya.
C. ALIRAN KRITIS[4]
Pemikiran Kritis lebih mengarhkan
kepada proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. Menurut aliran
ini tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentutakan oleh bagaimana
undang-undang disusun dan dijalankan. Sehubungan dengan itu maka tugas dari
kriminologi adalah bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan
dan orang-orang tertentu.
·
Teori Dalam Aliran Kritis
1.
Kriminologi Pos-Modern
Merupakan hasil otokritik dari pemikiran kritis. Yang menghasilkan beberapa
pemikiran diantaranya Pemikiran
Kriminologi Realis. Pemikiran
kriminologi realis ini dipicu oleh pemikiran Young tahun 1979 , tokoh
kriminologi kritis yang mengemukakan konsep idealism kiri yang melihat masalah
kejahatan sebagai memerlukan ideologi penafsiran ulang sejarah dan pembentukan
masyarakat baru. Enam pokok manifesto dari kriminologi realisme, yaitu :
1. Kejahatan sungguh-sungguh merupakan masalah.
2. Kita harus melihat pada realitas di balik kemun-culannya.
3. Kita harus mengendalikan kejahatan secara serius.
4. Kita harus melihat secara realistis keadaan-keadaan yang berhubungan dengan
pelanggar maupun korbannya.
5. Kita harus realistis dalam pemolisian.
6. Kita harus realistis tentang masalah kejahatan pada masa sekarang ini.
Jock Young dalam “Realist Research as a Basic
for Local Criminal Justice Policy” berpendapat bahwa tingkat
kejahatan adalah hasil dari bekerjanya empat publik, yaitu: 1) Polisi, dan
agen-agen pengendalian sosial yang lain, 2) Publik, 3) Pelaku Pelanggaran, 4)
Korban. (Young, 1992:33-72 dikutip dari Kriminologi edisi kedua oleh
Prof. Dr. Muhammad Mustofa: 149). Realisme memberikan perhatian khusus pada
ketidaksetaraan distribusi kejahatan menurut usia, gender, dan ras. Proses
mengolah masukan menjadi kebijakan, menurut Young meliputi emoat tahapan, yaitu
: 1). Identifikasi permasalahan, 2). Penilaian prioritas 3). Aplikasi dari
asas-asas, dan 4). Pertimbangan kemungkinan-kemungkinan.
2.
Kriminologi Feminis
Berkembang sebagai kritik atas kecenderungan tahun 1970-an (lihat
Muncie, McLunghlin, Langan, 1997:xxii) dan dikritik sebagai bias gender karena
memandang perempuan yang melanggar hukum sebagai penyimpangan ganda, pertama
karena ia perempuan secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran, dan
yang kedua karena pelanggarannya itu sendiri. Dalam konsep dekonstruksi
kejahatan yang merupakan salah satu ciri aliran pos-modern, kriminologi
feminisme memperoleh pijakannya yaitu agar supaya kriminologii melakukan
dekonstruksi dalam dirinya sendiri dengan meninggalkan keberpihakan (bias) gender
dalam merumuskan kejahatan dan penyimpangan (Cain,1990: dikutip dari :
Kriminologi edisi kedua oleh Prof. Dr. Muhammad Mustofa: 153). Tentang asumsi
dasar kriminologi feminisme, Lanier dan Henry (2004) merujuk pada K. Daly dan
M. Chesney-Lind (1988) yang terdapat lima aspek yang membedakan kriminologi
feminisme dari arus utama kriminologi yang terkait dengan isu gender, yaitu :
1). Gender adalah konstruksi sosial, historis, dan budaya tentang perbedaan
biologis jenis kelamin dan kapasitas reproduksi 2). Gender dan
hubungan-hubungan gender adalah pengaturan dasar pranata-pranata sosial dan
kehidupan sosial (4) yang dianggap pengetahuan alamdan sosial adalah
pengetahuan laki-laki yang hasilnya adalah gender; dan (5) perempuan harus
menjadi pusat pencarian intelektual dan tidak hanya berfungsi pinggiran dan
sekedar tambahan anggota badan yang tak tampaak oleh laki-laki (lihat Lanier,
Henry, 2004;292 dikutip dari: Kriminologi edisi kedua oleh Prof. Dr. Muhammad
Mustofa:159).
3.
Kriminologi Konstitutif
Pemikiran pos modern dikritik olehnya yang mencoba menggabungkan
pemikiran empirisme serta mengembangkan pemikiran pos modern dengan
meninggalkan konsep dekonstruksionisme yang merupakan ciri pos modern. Henry dan Milanovic mengemukakan pemikiran kriminologi
konstitutif dipengaruhi oleh berbagai teori sosial seperti interaksi
simbolik, konstruksionisme sosial, fenomenologi, etnometodologi, struktural
Marxisme, post-strukturalisme, teorti strukturasi dan semiotik. Pemikiran ini
berbeda dengan pos modern yang bersikap skeptis terhadap ilmu sosial dan
humaniora, pemikiran ini malah sebaliknya menyetujui ilmu sosial dan humaniora
dalam analisisnya. Henry dan Milanovic sebagai pelopor kriminologi konstitutif
berpendapat bahwa kejahatan merupakan hasil bersama tersebut muncul apabila
para agen bertindak diluar pola kejahatan, apabila yang satu ingin
mengendalikan tingkah laku jahat, melakukan telaah filosofis dan
menjelaskannya. Menurut Milanovic terdapat 8 dimensi yang membedakan pemikiran
modern dengan pemikiran pos modern (1)masyarakat dan struktur sosial;(2)peran
sosial; (3)subyekfitas/agensi; (4)wacana; (6)pengetahuan; (7)kasualitas;
(8)perubahan sosial (Milanovic, Ibid dikuti dari: Kriminologi edisi kedua oleh
Prof. Dr. Muhammad Mustofa:163).
4.
Kriminologi Budaya
Salah satu pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran pos modern, kajian
budaya, teori kritis, dan sosologi interaksionis (Jeff Ferrell, 1999). Menurut
Jeff Ferrell kriminologi budaya secara jelas bertujuan untuk mempelajari
keseluruhan dunia budaya termasuk “kerangka yang di gayakan dan dinamika
pengalaman sub-kebudayaan yang tidak sah”, “kriminalisasi simbolik terhadap
bentuk budaya pop”, konstruksi pengendalian kejahatan di media massa dan dampak
saling interaksi dan representasi terhadapa khalayak populer dan budaya
pemolisian. Jeff Ferrell sendiri dalam karyanya “Culture, Crime, and Cultural
Criminology”menguraikan bahwa kriminologi budaya merupakan usaha
untuk menunjukkan dasar persamaan kebudayaan dan praktik kejahatan dalam
masyarakat sekarang, yaitu tingkah laku kolektif tentang perumpamaan, gaya dan
makna simbolik dengan rumusan legal dan rumusan politis penguasa yang
menyebutkannya sebagai kejahatan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://nurlailioktavianifaozan.wordpress.com/2013/01/10/69/,
diakses tanggal 15-10-2013/ jam 19.00 WIB.
·
Romli Atmasasmita,
Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi, Penerbit PT Eresco, Bandung.
·
http://mygoder.wordpress.com/2010/04/05/sejarah-aliran-aliran-kriminologi/,
diakses tanggal 15-10-2013/ jam 19.00 WIB.
Thank you for cited my blog :))
ReplyDeletesee my new blog http://nurlailiofaozan.blogspot.co.id/
ReplyDeleteyour welcome dude
Delete